Minggu, 25 Juli 2010

REAKSI HIPERSENSITIVITAS TYPE IV

Reaksi hipersensitivitas type IV disebut juga reaksi hipersensitivitas type lambat yang diperantarai oleh sistem imun selular, yaitu melalui perantara sel T yang tersensitisasi secara khusus dan bukan diperantarai antibody. Reaksi hipersensitivitas type IV dibagi menjadi dua type dasar yaitu:
1. Delayed type hypersensitivity (DTH) yang diinisiasi oleh sel T CD4+
2. T cell mediated cytolysis / sitotoksitas sel langsung yang diperantarai oleh sel T CD8+
Pada hipersensitivitas type lambat, sel T CD4+ type TH1 menyekresikan sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel-sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor yang utama. Sedangkan pada sitotoksitas selular, sel T CD8+ sitotoksik menjalankan fungsi efektor.

A. Delayed type hypersensitivity (DTH) yang diinisiasi oleh sel T CD4+
Pada DTH, sel T CD4+ TH1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. CD4+ TH1 melepas sitokin (IFN-γ) yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi reaksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim-enzim hidrollitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah makrofag. Contoh-contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut :
1.) Reaksi tuberculin
Reaksi tuberculin merupakan reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak, dan biasanya reaksi ini terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen (basil tuberkel). Reaksi ini terdiri atas infiltrasi sel mononuclear (50% berupa limfosit dan sisanya adalah monosit). Setelah 48 jam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit.
Urutan kejadian pada DTH ( seperti yang ditunjukkan pada reaksi tuberkullin) dimulai dengan pajanan pertama individu terhadap basil tuberkel. Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II dari permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 yang tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tertentu memiliki kecenderungan untuk menginduksi respon TH1, meskipun lingkungan sitokin yang menginduksi sel naïf tersebut nampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkullin berikutnya pada individu tersebut, sel memori memberikan respon terhadap antigen yang telah diproses oleh APC dan akan diaktivasi, disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya akan bertanggung jawab untuk mengendalikan perkebangan respons DTH. Secara keseluruhan sitokin yang berperan terhadap proses tersebut adalah sebagai berikut:
- IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel, IL-12 sangat diperlukan untuk induksi DTH karena merupakan sitokin yang utama yang dapat mengarahkan diferensiasi sel TH1.
- IFN-γ memiliki berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN-γ merupakan activator makrofag yang paling poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan molekul kelas II lebih banyak pada permukaanya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga memiliki kemampuan fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuanya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi memiliki beberapa factor pertumbuhan polipeptida, termasuk factor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblast dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivasi IFN-γ maningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerang, jika aktivasi makrofag terus berlangsung akan terjadi fibrosis.
- IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrate ini adalah kira-kira 10% sel D4+ yang antigen spesifik, eskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk penyerang asal.
- TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang enggunakan efek pentingnya pada sel endotel :
1. meningkatkan sekresi nitrit oksida dan protasiklin , yang membantu peningkatan darah melalui vasodilatasi local.
2. Eningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang memmbantu dalam perlekatan sel mononuclear
3. Induksi dan sekresi factor kemotaksis seperti IL-8 perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya lifosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DTH.
Apabila reaksi menetap, reaksi tuberculin akan berlanjut menimbulkan kavitas atau granuloma.
2.) Dermatitis kontak
Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respon terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam lingkungan, contohnya nikel yang dapat memicu dermatitis kontak. Dermatitis kontak adalah salah satu jenis jejas yang disebabkan oleh hipersensitivitas lambat, dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan allergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel-sel langhans berperan sebagai APC, sedangkan sel TH1 dan makrofag merupakan sel yang memegang peranan penting dalam reaksi tersebut.
Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga disebut dengan urushiol, komponen aktif pada poison ivy atau poison oak) pada pejamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vaskularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan selanjutnya akan bermigrasi menuju antigen yang berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak kretinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.
3.) Reaksi granuloma
Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksida radikal dan superoksida. Dan pada beberapa keadaaan terjadi hal sebaliknya, antigen bahkan terlindung, misalnya telur skistosoma dan mikobakterium yang tertutup kapsul lipid. DTH kronis sering menimbulkan fibrosis sebagai hasil sekresi sitokin dan growth factor oleh makrofag yang dapat menimbulkan granuloma.
Granuloma adalah bentuk khusus DTH yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten dan / tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu, makrofag yang terakumulasi secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivasi, yaitu semakin membesar, memipihdan eosinofilik( disebut juga sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung dibawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk sel raksasa (giant sel) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid seara khusus dikelilingi oleh suatu lingkaran limfosit yang disebut granuloma dan polanya disebut inflamasi granuloma.
Reaksi granuloma merupakan reaksi tipe IV yang dianggap paling penting oleh karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi oleh karena adanya antigen yang persisten didalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha tubuh untuk memmbatasi kehadiran antigen yang persisiten didalam tubuh, sedangkan reaksi tuberculin merupakan respon imun selular yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi terhadap antigen mikroorganisme yang sama misalnya M tuberkulosiss dan M lepra. Granuloma terjadi pula pada hipersensitivitas terhadap zerkonium sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talcum). Dalam hal ini makrofag tidak dapat memusnahkan benda inorganic tersebut. Granuloma nonimunologis dapat dibedakan dari yang imunologis oleh karena tidak mengandung limfosit.
Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag. Sel-sel raksasa yang memiliki banyak nucleus disebut sel raksasa langhans. Sel tersebut mempunyai beberapa nucleus yang tersebar di bagian perifer sel dan oleh karena itu diduga sel tersebut merupakan hasil diferensiasi terminal sel monosit/makrofag.
Granuloma imonologik ditandai oleh inti yang terdiri atas sel epiteloid dan terkadang Ditemukan sel raksasa yang dikelilingi oleh ikatan limfosit. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau endapan serat kolagen yang terjadi akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen . pada beberapa penyakit seperti tuberculosis, di bagian sentral dapat ditemukan nekrosis dengan hilangnya struktur jaringan.
Sel TH1 berhubungan dengan tuberculosis bentuk ringan oleh karena sitokin TH1 mengerahkan dan mengaktivkan makrofag, menimbulkan terbentuknya granuloma yang mengandung kuman. Sel TH1 spesifik diaktifkan oleh kompleks peptide MHC dan melepaskan sitokin yang bersifat kemotaktik untuk berbagai sel, sitokin TH1 terutama IFN-γ mengaktikan makrofag di jaringan. Dalam bentuk kronik atau hipersensitiitas lambat , terjadi susunan sel-sel terorganisasi , yang spesifik dengan sel T di perifer dan mengaktifkan makrofag yang ada di dalam granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa makrofag berfusi menjadi sel datia dengan banyak nucleus atau berupa sel epiteloid.
B. T cell mediated cytolysis / sitotoksitas sel langsung yang diperantarai oleh sel T CD8+
Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/cytotoxic T Lymphocyte (CTL/Tc) yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit hipersensitifitas selular diduga merupakan sebab autoimunitas. Oleh karena itu, penyakit yang ditimbulkan oleh reaksi hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respon CTL terhadapp hepatosit yang terinfeksi.
sel CD8+ spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel secara langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun sel CD8+ spesifik untuk self antigen dan kedua sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.


REFERENSI:
Bratawidjaja, K. Garna, Et All ; Imunologi Dasar, Edisi V, Interna Publishing, 2009, Jakarta.
Price, Sylvia. A, Et All ; Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6 , 2006.
Robbins, L. Stanley, Et All ; Buku Ajar Patologi, Edisi VII, EGC, 2007, Jakarta.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

.waduuuuuu,,,
.mb' wed the best dach....

.adq baru tw,,,
.bza ngurangiin repotx carii bahan TR d buku...

.cba yg laiin lgii mb'...
.materi" yg laiin...

.hehe
.like it,,,

^o^