Minggu, 25 Juli 2010

Flora Mikroba Normal Tubuh Manusia

Istilah “flora mikroba normal” merujuk pada populasi sekelompok mikroorganisme yang mendiami kulit dan selaput mukosa hewan dan manusia yang normal serta sehat. Masih diragukan apakah ada flora virus normal pada manusia.
Kulit dan selaput mukosa selalu mengandung berbagai mikroorganisme yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan. (1) Flora menetap yang terdiri atas mikroorganisme yang jenisnya relative tetap dan biasa ditemukan di daerah-daerah tertentu, bila terganggu, mikroorganisme itu tumbuh kembali dengan segera. (2) Flora sementara yang terdiri atas mikroorganisme nonpatogen atau potensial pathogen yang mendiami kulit atau selaput mukosa selama beberapa jam, hari, atau minggu, mikroorganisme ini berasal dari lingkungan sekitarnya, tidak menimbulkan penyakit, dan tidak menetap secara permanen pada permukaan kulit. Anggota flora sementara umumnya kurang berarti apabila flora penghuni normal tetap utuh. Akan tetapi, bila flora yang menetap terganggu, mikroorganisme sementara dapat berkoloni, berproliferasi dan menimbulkan penyakit.
Organisme sering ditemukan pada bahan yang diperoleh dari berbagai bagian tubuh manusia dan di anggap flora normal dicantumkan pada Tabel 1 1-1.
Tabel 1 1-1. Flora kuman normal.
Kulit
1. Staphylococcus epidermidis.
2. Staphylococcus aureus (dalam jumlah kecil).
3. Spesies Micrococcus.
4. Spesies Neisseria nonpatogen.
5. Streptokokus alfa-hemolitik dan nonhemolitik.
6. Difteroid.
7. Spesies Propionibacterium.
8. Spesies Peptostreptoccus.
9. Sejumlah kecil organism lain (spesies Candida, spesies Acinetobacter,dll)
Nasofaring
1. Kuman berikut ini adalah flora normal, berapa pun jumlahnya: Difteroid, spesies Neisseria nonpatogen, streptokokus alfa hemolitik, S epidermis, streptokokus nonhemolitik, anaerob (spesiesnya terlau banyak untuk dicantumkan; berbagai jumlah spesies Bacteroides, kokus anaerobic, difteroid, spesies Fusobacterium, dll).
2. Sejumlah kecil kuman berikut ini jika disertai organism yang tercantum di atas: ragi, spesies Haemophilus, pneumokokus, S aureus, batang gram-negatif, Neisseria meningitides.
Saluran gastrointestinal dan rectum
1. Berbagai Enterobacteriaceae kecuali spesies Salmonella, Dhigella, Yersinia, Vibrio, dan Campylobacter.
2. Batang gram-negatif yang tidak meragikan dekstrosa.
3. Enterokokus.
4. S epidermidis.
5. Streptokokus alfa-hemolitik dan nonhemolitik.
6. Difteroid.
7. Sejumlah kecil S aureus.
8. Sejumlah kecil ragi.
9. Sejumlah besar anaerob (terlalu banyak spesies untuk dicantumkan).
Genitalia
1. Berapa pun jumlah organisme berikut: spesies Corynebacterium, spesies Lactobacillus,streptokokus alfa-hemolitik dan nonhemolitik, spesies Neisseria nonpatogen.
2. Organism berikut ini bila bercampur dan tidak mendominasi; enterokokus, Enterobacteriaceae dan batang gram-negatif lain, S epidermidis, Candida albicans dan ragi lain.
3. Anaerob (terlalu banyak spesies untuk dicantumkan); yang berikut ini mungkin penting bila tumbuh sendirian atau jelas-jelas mendominasi: spesies Prevotella, Clostridium, dan Peptostreptococcus.
PERAN FLORA PENETAP
Mikroorganisme yang secara tetap terdapat pada permukaan tubuh merupakan komensal. Mikroorganisme dapat tumbuh subur pada daerah tertentu, bergantung pada faktor-faktor fisiologik, suhu, kelembaban, serta adanya zat-zat makanan dan zat-zaat penghambat tertentu. Keberadaan mikroorganisme ini tidak penting untuk kehidupan sebab hewan “bebas bakteri” dapat di pelihara tanpa kehadiran flora mikroba normal. Flora yang menetap pada daerah-daerah tertentu memegang peranan dalam mempertahankan kesehatan dan fungsi normal. Anggota-anggota flora penetap dalam saluran pencernaan mensintesis vitamin K dan membantu absorpsi zat-zat makanan. Pada selaput mukosa dan kulit, flora penetap dapat mencegah kolonisasi oleh bakteri pathogen dan kemungkinan timbulnya penyakit melalui “interferensi bakteri”. Mekanisme interferensi bakteri ini tidak jelas, dapat berupa persaingan untuk mendapatkan reseptor atau tempat ikatan pada sel-sel inang, persaingan mendapatkan makanan, saling menghambat melalui hasil metabolik atau racun, saling menghambat dengan zat-zat antibiotika atau bakteriosin, atau mekanime lainnya. Penekanan flora normal jelas menimbulkan sebagian kekosongan local yang cenderung diisi oleh organisme dari lingkungan atau dari bagian tubuh lain. Organisme ini berlaku sebagai oportunis dan dapat menjadi pathogen.
Sebaliknya, anggota flora normal sendiri dapat menimbulkan penyakit dalam keadaan tertentu. Organisme-organisme ini menyesuaikan diri terhadap cara kehidupan tidak invasive karena adanya pembatasan lingkungan. Bila dengan paksa disingkirkan dari lingkungan yang terbatas ini dan dimasukkan ke dalam alirang darah atau jaringan, organisme-organisme ini dapat menjadi pathogen. Misalnya, streptokokus golongan viridans merupakan organisme penetap yang paling sering di temukan pada saluran pernapasan bagian atas. Bila sejumlah besar bakteri dimasukkan ke dalam aliran darah (misalnya setelah ekstraksi gigi atau tonsilektomi), bakteri dapat tinggal pada katup-katup jantung yang abnormal dan menimbulkan endokarditis infektif subakut. Sejumlah kecil bakteri untuk sementara berada dalam aliran darah bila terjadi trauma kecil (misalnya pembersihan karang gigi atau gosok gigi yang kuat). Bacteroides adalah bakteri penetap usus besar yang paling sering ditemukan namun tidak berbahaya bila berada di tempat ini. Bila masuk ke dalam rongga peritoneum atau ke dalam jaringan pelvis bersama dengan bakteri lainnya sebagai akibat trauma, bakteri ini menyebabkan supurasi dan bakteremia. Spiroketa, fusobakteria (basil fusiform), dan Bacteroides melaninogenicus adalah penghuni mulut yang normal. Bila terjadi kerusakan jaringan akibat trauma, defisiensi gizi, atau infeksi, bakteri ini berproliferasi dengan cepat dalam jaringan nekrotik dan menimbulkan penyakit “fusospiroketa”. Ada banyak conth lainnya, tetapi yang penting adalah bahwa mikroorganisme flora penetap normal tidak berbahaya dan mungkin bermanfaat bila berada di tempat menetapnya dan bila tidak ada kelainan-kelainan. Bakteri ini dapat menimbulkan penyakit bila dalam jumlah besar masuk ke tempat asing dan bila terdapat faktor-faktor predisposisi.
FLORA NORMAL PADA KULIT
Karena kulit terus-menerus berhubungan dan berkontak dengan lingkungan sekitarnya, kulit cenderung mengandung mikroorganisme sementara. Walaupun demikian, pada kulit terdapat flora penetap yang tetap dan berbatas jelas, yang di berbagai daerah anatomic dipengaruhi oleh sekresi, kebiasaan berpakaian, atau letaknya yang dekat dengan selaput mukosa (mulut, hidung, dan daerah perineum).
Sebagian besar mikroorganisme yang menetap pada kulit adalah basil difteroid aerob dan anaerob (misalnya Corynebacterium, Propionibacterium), stafilokokus nonhemolitik aerob dan anaerob (Staphylococcus epidermis, kadang-kadang Staphylococcus aureus, dan spesies Peptostreptococcus), bakteri gram-positif, aerob, pembentuk spora yang banyak terdapat di udara, air, dan tanah, streptokokus alfa-hemolitik (streptococcus viridians) dan enterokokus (Streptococcus faecalis), serta bakteri koliform gram-negatif dan Acinetobacter. Jamur dan ragi sering terdapat pada lipatan kulit, sedangkan mikrobakteria tahan-asam yang tidak pathogen terdapat pada daerah-daerah yang banyak mengandung sekresi sebasea (genitalia, telinga luar).
Faktor-faktor yang mungkin penting untuk menghilangkan mikroorganisme bukan penetap dari kulit adalah pH yang rendah, asam_asam lemak yang terdapat dalam sekresi sebasea, dan adanya lisozim. Keringat yang berlebihan ataupun mencuci dan mandi tidak dapat menghilangkan atau mengubah secara bermakna flora penetap normal. Jumlah mikroorganisme superficial dapat dikurangi dengan menggosok setiap hari memakai sabun yang mengandung heksaklorofen, atau disinfektan lainnya, tetapi flora tersebut secara cepat diganti kembali dengan organisme dari kelenjar sebasea dan kelenjar keringat, meskipun kontak dengan daerah-daerah kulit lain atau lingkungan sekitarnya telah ditiadakan. Pemakaian baju yang menutupi kulit secara ketat cenderung mengakibatkan peningkatan populasi total mikroorganisme dan dapat pula menimbulkan pergantian flora secara kualitatif.
Bakteri anaerob dan aerob seringkali besarnya sama menimbulkan infeksi yang sinergis (gangrene, fasciitis nekrosis, selulitis) pada kulit atau jaringan lunak. Bakteri sering merupakan bagian dari flora

FLORA NORMAL PADA MULUT DAN SALURAN PERNAPASAN BAGIAN ATAS
Flora hidung terdiri dari korinekbakteria, stafilakokus (S epidermis, S aures) yang menetap, dan streptokokus.
Selaput mukosa dan faring seringkali steril waktu lahir, tetapi dapat berkontaminasi waktu keluar melalui jalan lahir. Dalam 4 – 12 jam setelah lahir, strepkokus viridians menetap sebagai anggota flora yang paling utama dan tetap seperti ini selama hidup. Mikroorganisme ini mungkin berasal dari saluran pernapasan ibu dan perawat. Pada awal kehidupan, jenis flora bertambah dengan stafilokokusaerob dan anaerob, diplokokus gram negative, difteroid, dan kadang – kadang laktobasil. Bila gigi mulai keluar, spiroketa anaerob,bacteroides, spesies Fusobacterium, spesies Rothia dan Capnocytophaga, beberapa vibrio anaerob serta laktobasil akan menetap. Spesies Actinomyces dalam keadaan normal terdapat dalam jaringan tonsil dan gingival orang dewasa. Ragi (spesies Candida) terdapat dalam mulut.
Dalam faring dan trakea, flora yang sama akan menetap, sementara hanya ditemuka sedikit bakteri dalam bronki normal. Bronki kecil dan alveoli dalam keadaan normal bersifat steril. Mikroorganisme utama dalam saluran pernapasan bagian atas, khususnya faring, adalah streptokokus nonhemoliyik dan alfa – hemophilus, serta neiseria. Stafilokokus, difteroid, Haemophilus, pneumokokus, Mycoplasma, dan Prevotella juga ditemukan.
Infeksi pada mulut dan saluran pernapasan seringkali melibatkan bakteri anaerob. Infeksi periodontal, abses perioral, sinusitis, dan mastoiditis terutama disebabkan oleh Prevotella Melaninogenica, Fusobacterium dan peptostreptokokus. Aspirasi air liur (berisi 102 organisme ini dan bentuk anaerob) dapat menimbulkan pneumonia nekrosis, abses paru, dan empiema.
Peranan Flora Normal Mulut pada Karies gigi
Karies adalah suatu kerusakan gigi yang dimulai pada permukaan gigi dan berkembang kea rah dalam. Mula – mula permukaan email, yang keseluruhannya nonseluler, mengalami demineralisasi. Hal ini terjadi akibat pengaruh asam hasil peragian bakteri. Dekomposisi dentin dan semen yang terjadi selanjutnya akan meliputi pencernaan matriks protein oleh bakteri.
Langkah pertama yang penting pada karies asalah pembentukan plak pada permukaan email yang keras dan halus. Plak ini terutama terdiri atas endapan gelatin dari glukan yang mempunyai berat molekul besar; di sini bakteri penghasil asam melekat pada email. Polimer karbohidrat (glukan) terutama dihasilkan oleh streptokokus (Streptococcus Mutans, peptostreptokokus), mungkin melalui kerja sama dengan aktinomisetes. Terdapat kolerasi yang kuat antara adanya S mutans dengan karier pada tmpat – tempat khusus di email. Langkah kedua yang penting pada pembentukan karies adalah pembentukan sejumlah asam (pH 5,0) dari karbohidrat oleh streptokokus dan laktobasil dalam plak. Konsentrasi asam yang tinggi mengakibatkan demineralisasi email yang berdekatan dan menimbulkan karies.
Pada hewan percobaan “bebas – bakteri”, streptokokus kariogenik dapat merangsang pembentukan plak dan karies. Perlekatan pada permukaan yang halus memerlukan sintesis polimer glukan, yang larut dalam air, oleh glukosiltransferase dan pengikutsertaan tempat ikatan pada permukaan sel mikroba. (mungkin polimer karbohidrat juga membantu pelekatan beberapa streptokokus pada permukaan endokardium). Anggota mikroflora mulut yang lain, misalnya Veillonella, dapat membentuk kompleks bersama glukosiltransferase dari Streptococcus salivarius dalam saliva dan kemudian mensintesis polimer karbohidrat yang tidak larut dalam air untuk melekat pada permukaan gigi. Perlekatan ini mungkin dimulai dari antibody IgA terhadap S mutans yang ada dalam saliva. Difteroid tertentu dan streptokokus yang menghasilkan levan dapat menimbulkan kerusakan khusus pada penyakit periodontal.
Mikroorganisme preotolitik, termasuk aktinomisetes dan bakteri – bakteri, berperan pada daya kerja bakteri terhadap dentin yang menyertai kerusakan pada email. Timbulnya karies bergantung juga pada factor lainnya. Pengendalian karies meliputi pembuangan plak secara fisik, pembatasan makanan dan minuman yang mengandung sukrosa, gizi yang baik dengan cukup protein, dan pengurangan pembentukan asam dalam mulut dengan pembatasan karbonhidrat dan sering membersihkan mulut. Fluoride pada pasta gigi dan fluoride dalam air minum mengakibatkan peningkatan resistensi email terhadap asam. Untuk mengendalikan penyakit periodontal, kalkulus (karang gigi) perlu dibuang dan kebersihan mulut perlu djaga.
Kantung – kantung periodontal dalam gingival merupakan sumber yang kaya akan organisme, termasuk anaerob, yang jarang ditemukan di tempat lain. Meskipun organisme ini dapat turun serta menyebabkan penyakit periodontal dan destruksi jaringan, perhatian terhadap organism ini timbul bila ditemukan menetap di tempat lain, misalnya menimbulkan endokarditis infektif atau bakteremia pada penderita granulopenia. Contohnya adalah spesies Capnocytophaga dan Rothia dentocariosa. Spesies Capnocytophaga berbentuk fusiform, gram-negatif, anaerob peluncur; Spesies Rothia berbentuk batang pleomorfik, aerob, gram-positif. Mumgkin keduanya ikut serta dalam flora mikroba kompleks pada penyakit periodontal yang menyebabkan kerusakan tulang yang menonjol. Pada penderita granulopenia yang imunodefisien, organism ini dapat menyebabkan lesi oportunis yang berat pada organ – organ lain.
FLORA NORMAL SALURAN PENCERNAAN
Pada waktu lahir usus bersifat steril, tetapi jasad renik segera masuk bersama dengan makanan. Pada anak yang disusui, usus mengandung banyak streptokokus asam laktat dan laktobasil. Makroorganisme aerob dan anaerob, gram-negatif serta tidak dapat begerak ini (misalnya Bifidobacterium) menghasilkan asam dari karbohidrat dan tahan pada PH 5,0. Pada anak-anak yang mendapat susu botol, terdapat lebih baanyak flora campuran dalam susu, sedangkan laktobasil kurang mencolok. Dengan berkembangnya kebiasaan makan menuju ke pola orang dewasa, flora usus berubah. Makanan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap susunan relative flora usus dan tinja. Usus neonates dalam perawatan bayi intensif, cenderung dihuni oleh Enterobacteriaceae, misalnya Klebsiella, Citrobacter, Enterobacter.
Pada orang dewasa normal, esophagus mengandung mikroorganisme yang berasal dari saliva dan makanan. Keasaman lambung mempertahankan jumlah mikroorganisme yang minimal (103-105/g isi lambung), kecuali bila obstruksi pylorus mempermudah proliferasi kokus dan basil gram-positif. pH lambung yang asan dengan nayta bersifat melindungi terhadap infeksi oleh beberapa bakteri pathogen usus, misalnya kolera. Pemberian simetidin dan penderita tukak lambung menyebabkan peningkatan flora mikroba lambung, termasuk organism yang umumnya terdapat dalam tinja. Bila pH isi lambung menjadi basa, flora penetap lambat laun akan bertambah. Pada duodenum dewasa, terdapat 103-106 bakteri/g isi lambung; dalam jejunum dan ileum, 105-108 bakteri/g isi; dan dalam sekum dan kolon transversum, 108-1010 bakteri/g. pada usus halus bagian atas terutama terdapat laktobasil dan enterokokus, tetapi dalam ileum bagian bawah dan sekum, floranya merupakan flora tinja. Pada kolon sigmoid dan rectum, terdapat sekitar 10 11 bakteri/g isi; ini merupakan 10-30% massa tinja. Pada diare, bakteri yang terkandung dapat banyak berkurang, sedangkan pada usus yang statis jumlahnya meningkat.
Pada kolon orang dewasa normal, flora bakteri yang menetap terdiri dari 96-99% anaerob; Bacteroides, khususnya Bacteroide fragilis; spesies Fusobacterium; laktobasil anaerob, misalnya Bifidobacterium; klostridia (Clostridium perfringes, 103-105/g); dan kokus gran-positif anaerob (spesies Peptostreptococcus). Hanya 1-4 % di antaranya aerob fakultatif (kuman koliform gram-negatif, enterokokus, dan sejumlah kecil Proteus, Pseudomonas, laktobasil ,Candida, mikroorganisme lainnya). Lebih dari 100 tipe mikroorganisme terdapat dalam flora tinja normal secara terus-menerus. Trauma ringan (misalnya sigmoidoskopi, barium enema) dapat mengakibatkanbakteremia sementara pada sekita 10 % tindakan.
Bakteri usus berperan penting dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu dan asam-asam empedu, penyerapan zat-zat makanan dan hasil-hasil pemecahannya, serta perlawanan terhadap mikroorganisme pathogen. Flora usus menghasilkan aminia dan hasil pemecahan lainnya yang diabsorpsu dan dapat mengakibatkan koma hepatikum. Di antara kuman koliform aerob, hanya beberapa serotype yang menetapkan dalam kolon dalam waktu yang lama, sedangkan sebagian besar serotype Escherichia coli hanya terdapat selama beberapa hari.
Obat-obatan antimikroba yang diberikan melalui mulut, pada manusia untuk sementara dapat menekan unsur-unsur flora tinja yang peka obat. Hal ini sering dilakukan sebelum operasi usus dengan pemberian obat-obat yang tidak larut melalui mulut. Misalnya, neomisin ditambah eritromisin dapat menekan sebagian flora usus dalam 1-2 hari, terutama yang aerob. Metronidazol dapat melakukan fungsi tersebut pada organism yang anaerob. Bila pembedahan usus bagian bawah dilakukan pada saat jumlah bakteri paling sedikit, pencegahan terhadap infeksi karena pencemaran isi usus dapat dilakukan. Namun, segera setelah itu jumlah flora tinja kembali normal atau lebih tinggi dari normal, terutama organism yang terseleksi karena relative resisten terhadap obat yang dipakai. Mikroorganisme yang peka-obat akan digantikan oleh mikroorganisme yang resisten terhadap obat yang dipakai. Mikroorganisme yang peka-obat akan digantikan oleh mikroorganisme yang resisten-obat, khususnya stafilokokus, Enterobacter,enterokokus, Proteus, Pseudomonas, Closrtidium difficile, dan ragi.
Lactobacillus acidophilus yang dimakan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan mikroorganisme tersebut menetap untuk sementara dalam usus dan menekan sebagian mikroflora usus lainnya.
Flora anaerob pada kolon antara lain B fragilis, klostridia, dan peptostrepkokus yang mamainkan peranan utama dalam pembentukan abses yang mandahului perforasi usus. Prevotella bivia dan Prevotella disiens penting dalam pembentukan abses pelvis pada organ genital wanita. Seperti B fragilis, spesies ini relative resisten terhadap penisilin, karena itu, sebaiknya digunakanobat efektif yang lain.
FLORA NORMAL PADA URETRA
Uretra anterior pria dan wanita mengandung sedikit mikroorganisme yang berjenis sama seperti yang terdapat pada kulit dan perineum. Mikroorganisme tersebut biasanya terdapat dalam air kemih normal, yang dikeluarkan dalam jumlah 102 - 104 /mL.

FLORA NORMAL PADA VAGINA
Segera setelah lahir, laktobasil aerob dalam vagina dan menetap selama pH tetap asam ( beberapa minggu). Ketika pH menjadi netral (tetap demikian sampai pubertas), terdapat flora campuran kokus basil. Pada waktu pubertas, laktobasil aerob dan anaerob ditemukan kembali dalam jumlah besar dan mempertahankan keasaman pH melalui pembentukan asam dari karbohidrat, khususnya glikogen.
Hal ini merupakan mekanisme penting untuk mencegah menetapnya mikroorganisme lain, yang mungkin merugikan, dalam vagina. Bila laktobasil ditekan dengan pemberian obat – obat antimikroba, jumlah ragi atau bakteri lainnya akan bertambah dan menyebabkaniritasi dan peradangan. Setelah menopause, laktobasil kembali berkurang jumlahnya dan flora campuran muncul kembali. Dalam flora vagina normal juga ditemukan streptokokus hemolitik golongan B, streptokokus anaerob (peptostreptokokus),spesies Bacteroides, klostridia, Gardnerella (haemophillus) vaginalis, Ureaplasma urealyticum, dan kadang – kadang Listeria atau spesies Mobiluncus. Lender serviks mempunyai aktivitas antimikroba dan mengandung iisozim. Pada beberapa wanita, introitus vagina mengandung banyak flora yang menyerupai flora daerah perineum dan perianal.
Hal ini mungkin merupakan factor predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih yang berulang. Mikroorganisme vagina yang terdapat pada saat melahirkan dapat menimbulkan infeksi pada bayi yang baru lahir (misalnya, strepkokus golongan B).
FLORA NORMAL PADA MATA (KONJUNGTIVA)
Mikroorganisme konjungtiva terutama adalah diteroid (Corynebacterium xerosis), S epidermidis, dan streptokokus nonhemolitik. Neiseria dan basil gram – negative yang mempunyai spesies Haemophilus (Moraxella) seringkali ada juga.flora konjungtiva dalam keadaan normal dikendalikan oleh air mata, yang mengandung lisozim antimikroba.


REFERENSI:
Jawetz, Ernest, et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran, edisi 20. Jakarta: EGC

REAKSI HIPERSENSITIVITAS TYPE IV

Reaksi hipersensitivitas type IV disebut juga reaksi hipersensitivitas type lambat yang diperantarai oleh sistem imun selular, yaitu melalui perantara sel T yang tersensitisasi secara khusus dan bukan diperantarai antibody. Reaksi hipersensitivitas type IV dibagi menjadi dua type dasar yaitu:
1. Delayed type hypersensitivity (DTH) yang diinisiasi oleh sel T CD4+
2. T cell mediated cytolysis / sitotoksitas sel langsung yang diperantarai oleh sel T CD8+
Pada hipersensitivitas type lambat, sel T CD4+ type TH1 menyekresikan sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel-sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor yang utama. Sedangkan pada sitotoksitas selular, sel T CD8+ sitotoksik menjalankan fungsi efektor.

A. Delayed type hypersensitivity (DTH) yang diinisiasi oleh sel T CD4+
Pada DTH, sel T CD4+ TH1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. CD4+ TH1 melepas sitokin (IFN-γ) yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi reaksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim-enzim hidrollitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah makrofag. Contoh-contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut :
1.) Reaksi tuberculin
Reaksi tuberculin merupakan reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak, dan biasanya reaksi ini terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen (basil tuberkel). Reaksi ini terdiri atas infiltrasi sel mononuclear (50% berupa limfosit dan sisanya adalah monosit). Setelah 48 jam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit.
Urutan kejadian pada DTH ( seperti yang ditunjukkan pada reaksi tuberkullin) dimulai dengan pajanan pertama individu terhadap basil tuberkel. Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II dari permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 yang tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tertentu memiliki kecenderungan untuk menginduksi respon TH1, meskipun lingkungan sitokin yang menginduksi sel naïf tersebut nampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkullin berikutnya pada individu tersebut, sel memori memberikan respon terhadap antigen yang telah diproses oleh APC dan akan diaktivasi, disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya akan bertanggung jawab untuk mengendalikan perkebangan respons DTH. Secara keseluruhan sitokin yang berperan terhadap proses tersebut adalah sebagai berikut:
- IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel, IL-12 sangat diperlukan untuk induksi DTH karena merupakan sitokin yang utama yang dapat mengarahkan diferensiasi sel TH1.
- IFN-γ memiliki berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN-γ merupakan activator makrofag yang paling poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan molekul kelas II lebih banyak pada permukaanya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga memiliki kemampuan fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuanya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi memiliki beberapa factor pertumbuhan polipeptida, termasuk factor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblast dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivasi IFN-γ maningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerang, jika aktivasi makrofag terus berlangsung akan terjadi fibrosis.
- IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrate ini adalah kira-kira 10% sel D4+ yang antigen spesifik, eskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk penyerang asal.
- TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang enggunakan efek pentingnya pada sel endotel :
1. meningkatkan sekresi nitrit oksida dan protasiklin , yang membantu peningkatan darah melalui vasodilatasi local.
2. Eningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang memmbantu dalam perlekatan sel mononuclear
3. Induksi dan sekresi factor kemotaksis seperti IL-8 perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya lifosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DTH.
Apabila reaksi menetap, reaksi tuberculin akan berlanjut menimbulkan kavitas atau granuloma.
2.) Dermatitis kontak
Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respon terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam lingkungan, contohnya nikel yang dapat memicu dermatitis kontak. Dermatitis kontak adalah salah satu jenis jejas yang disebabkan oleh hipersensitivitas lambat, dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan allergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel-sel langhans berperan sebagai APC, sedangkan sel TH1 dan makrofag merupakan sel yang memegang peranan penting dalam reaksi tersebut.
Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga disebut dengan urushiol, komponen aktif pada poison ivy atau poison oak) pada pejamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vaskularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan selanjutnya akan bermigrasi menuju antigen yang berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak kretinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.
3.) Reaksi granuloma
Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksida radikal dan superoksida. Dan pada beberapa keadaaan terjadi hal sebaliknya, antigen bahkan terlindung, misalnya telur skistosoma dan mikobakterium yang tertutup kapsul lipid. DTH kronis sering menimbulkan fibrosis sebagai hasil sekresi sitokin dan growth factor oleh makrofag yang dapat menimbulkan granuloma.
Granuloma adalah bentuk khusus DTH yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten dan / tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu, makrofag yang terakumulasi secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivasi, yaitu semakin membesar, memipihdan eosinofilik( disebut juga sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung dibawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk sel raksasa (giant sel) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid seara khusus dikelilingi oleh suatu lingkaran limfosit yang disebut granuloma dan polanya disebut inflamasi granuloma.
Reaksi granuloma merupakan reaksi tipe IV yang dianggap paling penting oleh karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi oleh karena adanya antigen yang persisten didalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha tubuh untuk memmbatasi kehadiran antigen yang persisiten didalam tubuh, sedangkan reaksi tuberculin merupakan respon imun selular yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi terhadap antigen mikroorganisme yang sama misalnya M tuberkulosiss dan M lepra. Granuloma terjadi pula pada hipersensitivitas terhadap zerkonium sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talcum). Dalam hal ini makrofag tidak dapat memusnahkan benda inorganic tersebut. Granuloma nonimunologis dapat dibedakan dari yang imunologis oleh karena tidak mengandung limfosit.
Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag. Sel-sel raksasa yang memiliki banyak nucleus disebut sel raksasa langhans. Sel tersebut mempunyai beberapa nucleus yang tersebar di bagian perifer sel dan oleh karena itu diduga sel tersebut merupakan hasil diferensiasi terminal sel monosit/makrofag.
Granuloma imonologik ditandai oleh inti yang terdiri atas sel epiteloid dan terkadang Ditemukan sel raksasa yang dikelilingi oleh ikatan limfosit. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau endapan serat kolagen yang terjadi akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen . pada beberapa penyakit seperti tuberculosis, di bagian sentral dapat ditemukan nekrosis dengan hilangnya struktur jaringan.
Sel TH1 berhubungan dengan tuberculosis bentuk ringan oleh karena sitokin TH1 mengerahkan dan mengaktivkan makrofag, menimbulkan terbentuknya granuloma yang mengandung kuman. Sel TH1 spesifik diaktifkan oleh kompleks peptide MHC dan melepaskan sitokin yang bersifat kemotaktik untuk berbagai sel, sitokin TH1 terutama IFN-γ mengaktikan makrofag di jaringan. Dalam bentuk kronik atau hipersensitiitas lambat , terjadi susunan sel-sel terorganisasi , yang spesifik dengan sel T di perifer dan mengaktifkan makrofag yang ada di dalam granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa makrofag berfusi menjadi sel datia dengan banyak nucleus atau berupa sel epiteloid.
B. T cell mediated cytolysis / sitotoksitas sel langsung yang diperantarai oleh sel T CD8+
Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/cytotoxic T Lymphocyte (CTL/Tc) yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit hipersensitifitas selular diduga merupakan sebab autoimunitas. Oleh karena itu, penyakit yang ditimbulkan oleh reaksi hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respon CTL terhadapp hepatosit yang terinfeksi.
sel CD8+ spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel secara langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun sel CD8+ spesifik untuk self antigen dan kedua sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.


REFERENSI:
Bratawidjaja, K. Garna, Et All ; Imunologi Dasar, Edisi V, Interna Publishing, 2009, Jakarta.
Price, Sylvia. A, Et All ; Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6 , 2006.
Robbins, L. Stanley, Et All ; Buku Ajar Patologi, Edisi VII, EGC, 2007, Jakarta.

Sabtu, 24 Juli 2010

METABOLISME KALSIUM, FOSFAT, VITAMIN D,HORMON THYROID, PARATHYROID SERTA PENGATURANNYA DI HIPOTALAMUS



KALSIUM….
Tubuh orang dewasa diperkirakan mengandung 1000 gram kalsium. Sekitar 99% kalsium ini berada didalam tulang di dalam bentuk hidroksiapatit dan 1% lagi berada didalam cairan ekstraselular dan jaringan lunak. Didalam cairan ekstarselular, konsentrasi ion kalsium (Ca2+) adalah 103 M, sedangkan didalm sitosol 106 M.
Kalsium memegang 2 peranan fisiologik yang penting didalm tubuh didalam tulang garam-garam kalsium berperan dalam menjaga integritas struktur kerangka, sedangkan didalam cairan ekstraselular dan sitosol, Ca2+ sangat berperan dalam berbagai proses biokimia tubuh. Kedua kompartemen tersebut selalu berada dalam keadaan yang seimbang.
Didalam serum, kalsium berada dalam 3 fraksi yaitu Ca2+ sekitar 50%, kalsium yang terikat albumin sekitar 40%, dan kalsium dalam bentuk kompleks, terutama sitrat dan fosfat adalah 10%. Kalsium ion dan kalsium kompleks mempunyai sifat dapat melewati membran semipermeabel, sehingga akan difiltrasi diglomerulus secara bebas. Reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal terutama terjadi di tubulus proksimal yaitu sekitar 70%, kemudian 20% di ansa henle dan sekitar 8% ditubulus distal. Pengaturan ekskresi kalsium di urin, terutama terjadi ditubulus distal. Sekitar 90% kalsium yang terikat protein , terikat pada albumin dan sisanya terikat pada globulin. Pada pH 7,4 setiap gr/dL albumin akan mengikat 0,8 mg/dL kalsium. Kalsium ini akan terikat pada gugus karboksil albumindan ikatannya sangat tergantung pada pH serum, pada kasus asidosis yang akut, ikatan ini akan berkurang sehingga kadar Ca+ akan meningkat, dan sebaliknya pada alkalosis akut.
Secara fisiologis Ca2+ ekstraselular memegang peranan yang sangat penting yakni:
• berperan sebagi kofaktor pada proses pembekuan darah, misalnya untuk factor VH, IX,X, dan protrombin.
• Memelihara mineralisasi tulang
• Berperan dalam stabilisasi membran plasma dengan berikatan pada fosfolipid dan menjaga permeabilitas membran plasma terhadap ion Na+. penurunan kadar Ca 2+ serum akan meningkatkan permeabilitas membran plasma terhadap Na+ dan menyebabkan peningkatan respons jaringan yang mudah terangsang.
Kadar Ca2+ didalam serum diatur oleh 2 hormon penting yaitu PTH dan 1,25 (OH)2 vitamin D. di dalam sel pengaturan homeostasis kalsium sangat kompleks, sekitar 90-99% kalsium intrasel, berada didalam mitokondria dan mikrosom. Rendahnya kadar Ca2+ di dalm sitosol diatur oleh 3 pompa yang terletak pada membran plasma, membran mikrosomal , dan membran mitokondria yang sebelah dalam. Pada otot rangka dan otot jantung, kalsium berperan pada proses eksitasi dan kontraksi jaringan tersebut. Pada otot rangka, mikrosom berkembang sangat baik menjadi retikulum sarkoplasmik dan merupakan gudang kalsium yang sangat penting didalam sel yang bersangkuatan. Depolarisasi membran plasma akan diikuti dengan masuknya sedikitCa2+ ekstraselular kedalam sitosol dan hal ini akan mengakibatkan terlepasnya Ca2+ secara berlebihan dari reticulum sarkoplasmik kedalam sitosol. Kemudian Ca2+ akan bereaksi dengan troponin yang akan memngakibatkan interaksi aktin –miosin dan terjadilah kontraksi otot. Sedangkan prose relaksasi otot akan didahului oleh reakumulasi Ca2+ oleh vesikel reticulum secara cepat dari dalam sitosol, sehinggga kadar Ca2+ didalam sitosol akan kembali normal.
Sel utama kelenjar paratiroid sangat sensitive dengan kadar Ca2+ didalam serum. Peran PTH pada reabsorbsi Ca didalam tubulus distal, resorpsi tulang dan peningkatan absorbsi kalsium di usus melalaui peningkatan 1,25 dihidroksikolekalsiferol vitamin D, sangat penting untuk menjaga kadar Ca++ didalam serum. Selain itu peningkatan PTH akan menurunkan renal tubular phosphate threshold (TmP/GFR) sehingga fosfat yang diserap dari usus dan dimobilisasi dari tulang akan diekskresi oleh ginjal.
FOSFOR….
Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 600 mg fosfor sekitar 85% berada didalam tulang dalam bentuk Kristal. Dan 15% berada didalam cairan ekstraselular. Sebagian besar fosfor ekstarselular berada dalam bentuk ion fosfat anorganik didalam jaringan lunak, hampir semuanya berada dalam bentuk ester fosfat. Fosfat intraselular, memegang peranan yang penting didalam proses biokimia intrasel, termasuk pada pembentukan dan transfer energy selular.
Didalam serum fosfat anorganik juga terbagi kedalam 3 fraksi, yaitu ion fosfat, fosfat yang terikat protein dan fosfat dalam bentuk kompleks dengan Na, Ca, dan Mg. fosfat yang terikat protein hanya 10% sehingga tidak bermakna dibandingkan keseluruhan fosfat anorganik didalam serum. Dengan demikian, sekitar 90% fosfat (ion dan kompleks) akan dengan mudah difiltrasi diglomerulus.
Ginjal memiliki peranan yang sangat penting pada homeostasis fosfor didalam serum. Beberapa factor baik, intrinsic maupun ekstrinsik, yang mempengaruhi renal tubular phosphorus threshold (TmP/GFR), akan dapat mempengaruhi kadar fosfat didalam serum, misalnya pada hiperparatiroidisme sekunder, TmP/GFR akan menurun, sehingga terjadi ekskresi fosfat yang berlebihan, akibatnya, akibatnya timbul hipofosfatemia. Sebaliknya pada gangguan fungsi ginjal dan hipoparatiroidisme, TmP/GFR akan meningkat, sehingga ekskresi fosfat menurun dan terjadilah hiperfosfattemia.
Secara biologis, hasil kali Ca X P selalu konstan, sehingga peningkatan kadar fosfat didalam serum akan diikuti dengan penurunan kadar Ca serum, dan yang terakhir ini akan merangsang peningkatan produksi PTH yang akan menurunkan TmP/GFR sehingga terjadi ekskresi fosfat melalui urin dan kadar fosfat didalam serum kembali menjadi normal, demikian pula kadar Ca didalam serum. Pada gagal ginjal kronis, terjadi hiperfosfatemia yang menahun, sehingga timbul hipertiroididsme sekunder akibat Ca serum yang rendah.
VITAMIN D….
Vitamin D dalam tubuh kita berasal dari dua sumber yaitu yang berasal dari makanan baik dari tumbuh-tumbuhan ( vitamin D2= ergokalsiferol) atau dari hewan ( vitamin D3= kolekalsiferol), dan yang dibentuk dikulit. Di daerah tropis, kulit kita cukup menghasilkan vitamin D, akan tetapi pad daerah yang berada jauh dari garis equator, asupan vitamin D yang berasal dari luar sungguh sangat penting.
Vitamin D yang dibentuk dikulit yaitu vitamin D3 ( 7 dehidrokolesterol) akan mengalami dua kali hidroksilasi sebelum menjadi vitamin D yang biologis aktif yaitu 1,25 dihidroksivitamin D atau kalsitriol, yang lebih tepat disebut sebagi suatu hormone daripada vitamin. Hidroksilasi vitamin D didalam tubuh terjadi sebagi berikut:
1). Hidroksilasi pertama terjadi di hati oleh enzim 25-hidroksilase menjadi 25-hidroksikolekalsiferol yang kemudian dilepas ke darah dan berikatan dengan suatu protein ( vitamin D binding protein) selanjutnya diangkut keginjal.
2). Hidroksilasi kedua terjadi di ginjal yaitu oleh enzim 1α-hidroksilase sehingga 25-hidroksikolekalsiferol menjadi 1,25 dihidroksikolekalsiferol atau kalsitriol yang merupakan suatu hormone yang berperan penting dalam metabolisme kalsium.

Peranan hormone paratiroid dalam kaitan dengan perubahan metabolisme vitamin D adalah dalam perubahan dari 25-hidroksivitamin D atau kalsitriol diginjal. Pada keadaan dimana terjadi hipokalsemi, maka kelenjar paratiroid akan melepaskan hormone paratiroid lebih banyak dan hormone ini akn merangsang ginjal menghasilkan lebih banyak 1,25 dihidroksivitamin D atau kalsitriol. Fungsi dari kalsitriol adalah meningkatkan kadar kalsium dan fosfat dalam plasma, dengan demikian mempertahankam keadaan agar mineralisasi tulang tetap terjamin. Vitamin D bekerja pada 3 alat yaitu:

1. Di usus, kalsitriol meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfat dan dianggap sebagai fungsi utama kalsitriol dalam metabolisme kalsium. Pada keadaan hipokalsemi berat misalnya pada pasca tiroidektomi yang menakibatkan kelenjar paratiroid ikut terangkat , pemberian kalsium oral tidak cukup untuk memperbaiki kadar kalsium tanpa penambahan vitamin D.
2. Di tulang, vitamin D mempunyai reseptor pada sel osteoklas, oleh karena itu vitaminD mempunyai efek langsung pada tulang yang kerjanya mirip dengan hormone paratiroid yaitu mengaktifkan sel osteoklas.
3. Di ginjal, sendiri kalsitriol menurunkan reabsorbsi kalsium di tubuli ginjal.

HORMON THYROID….
Hormon thyroid yang memiliki hubungan dalam keseimbangan / homeostasis kalsium adalah kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu peptide yang terdiri dari 32 asam amino bekerja menghambat osteoklas sehingga resorpsi tulang tidak terjadi. Hormone ini dihasilkan oleh sel C parafolikular kelenjar tiroid dan disekresi akibat adanya perubahan kadar kalsium plasma. Kalsitonin baru akan dilepaskan bila terjadi hiperkalsemi dan sekresi akan berhenti bila kadar kalsium menurun atau hipokalsemi. Pemberian kalsitonin secara intravena akan menyebabkan penurunan secara cepat kalsium plasma dan fosfat plasma melalui pengaruh kalsitonin pada tulang dengan mengahambat osteoklas. Osteoklas dibawah pengaruh kalsitonin akan mengalami perubahan morfologi. Dalam beberapa menit osteoklas akan menghentikan aktivitasnya kemudian mengerut dan menarik ruffled border dari permukaan tulang.
Reseptor kalsitonin selain terdapat pada sel osteoklas juga terdapat di seltubulus proksimal ginjal sehingga kalsitonin memiliki peran pada ginjal. Pad ginjal kalsitonin akan meningkatkan ekskresi fosfat melalui hambatan absorpsi fosfat, mempunyai efek natriuresis ringan sehingga ekskresi kalsium oleh ginjal dapat meningkat namun hal ini tidak memberikan efek pada kalsium plasma.

HORMON PARATHYROID….
Kelenjar parathyroid terdapat di bagian posterior kelenjar thyroid, ada dua buah pada tiap sisi. Kelenjar parathyroid mengeluarkan hormone parathyroid dan merupakan hormone utama yang mengatur metabolisme kalsium untuk mempertahankan agar kadar kalsium plasma dalam batasan normal. Hormone parathyroid terdiri atas 84 asam amino rantai tunggal.
Pada suatu keadaan hipokalsemi, sekresi berlangsung dalam tiga tahap:
• Tahap dini berlangsung beberapa menit, merupakan respon cepat dari sel-sel paratiroid melepaskan hormone paratiroid yang sudah tersedia dalam sel terhadap suatu keadaan hipokalsemi.
• Tahap kedua yang terjadi beberapa jam kemudian meruapakn aktivitas dai kelenjar paratiroid menghasilkan hormone paratiroid lebih banyak.
• Tahap ketiga apabila hipokalsemi masih berlangsung maka dalam beberapa hari akan terjadi repliaksi sel untuk memperbanyak massa sel kelenjar paratiroid.
Dalam keadaan normal hormone partiroid bekerja mempertahankan kadar kalsium dalam plasma agar tidak terjadi hipokalsemi. Dalam kaitannya dengan metabolisme kalsium, hormone paratiroid bekerja secara langsung pada dua alt yaitu ginjal dan tulang, dan secara tidak langsung pada usus halus melalui metabolisme vitamin D. mekanisme kerja hormone paratiroid pada organ tersebut sebagai berikut:
 Pada tulang, hormone paratiroid meningkatkan resorpsi kalsium dan fosfat dengan mengaktifkan sel osteoklas.
 Pada ginjal, hormone paratiroid melalui dua jalur yaitu:
- a). reabsorpsi kalsium. Di ginjal hormone paratiroid meningkatkan reabsorpsi kalsium dan menurunkan reabsorpsi fosfat. Reabsorpsi kalsium di ginjal terjadi pada tubulus proksimal (65%), ansa henle (25%) dan sisanya di tubulus distal. Selain meningkatkan reabsorpsi kalsium juga meningkatkan reabsorpsi magnesium dan meningkatkan ekskresin fosfat dan bikarbonat melalui air seni.
- b). merangsang kerja enzim 1α-hidroksilase di ginjal sehingga meningkatkan perubahan 25 hidroksikolekalsifirol menjadi 1,25 dihidroksikolekalsiferol.
Pelepasan hormone paratiroid sendiri sangat tergantung pada kadar kalsium plasma. Pada keadaan hipokalsemi, kelenjar paratiroid akan cepat bereaksi melepaskan hormone paratiroid untuk meningkatkan kadar kalsium plasma agar kembali normal. Pada saat kadar kalsium plasma sudah normal. Kalsitriol dapat menekan pelepasan hormone paratiroid.

REFERENSI :
Sudoyo, W. Aru ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V, Interna Publishing, 2009, Jakarta.

ENDOKRIN PANKREAS

1. Anatomi dan fisiologi kelenjar pancreas

Kelenjar pancreas terdiri atas dua jaringan utama yaitu :

- Asini / eksokrin pancreas yang berfungsi menyekresi getah pencernaan kedalam duodenum.

- Pulau-pulau (islet) langerhans / endokrin pancreas, yang langsung menyekresikan insulin dan glucagon kedalam darah..

Pancreas manusia sendiri memiliki 1 sampai 2 juta pulau langerhans, setiap pulau langerhans hanya berdiameter 0,3 milimeter dan tersusun mengelilingi pembuluh kapiler kecil yang merupakan tempat penampungan hormone yang disekresikan oleh sel-sel tersebut. Setiap pulau (islet) mengandung sekitar 1000 sel, yang dibedakan atas sifat pewarnaannya, morfologi ultrastruktur granulanya, dan kandungan hormonnya. Empat jenis tipe sel yang tersering adalah sel beta, sel alfa, sel delta dan PP (polipeptida pancreas).

Sel beta berfungsi membentuk insulin dan merupakan 70% dari populasi sel islet. Sel alfa membentuk glucagon dan merupakan 5 hingga 20% sel yang mengisi jumlah populasi islet keseluruhan. Sel delta membentuk somatostatin yang berfungsi menekan pengeluaran insulin dan glucagon, sel delta membentuk 5 hingga 10% jumlah populasi sel islet. Sel PP tidak hanya ditemukan pada sel islet tetapi juga tersebar dibagian eksokrin pancreas. Di dalam islet sel ini membentuk 1 hingga 2% dari semua sel. Polipeptida sel ini memiliki sejumlah efek pada saluran cerna, misalnya stimulasi sekresi enzim lambung dan usus serta inhibisi motilitas usus.

Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel yang terdapat dalam pulau langerhans memungkinkan komunikasi dari sel ke sel dan pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormone oleh hormone lainnya. Contohnya insulin menghambat sekresi glucagon, Amilin menghambat sekresi insulin, dan somatostatin mengahambat sekresi hormone insulin dan glucagon.

2. Sifat-sifat kimia dan sintesis insulin

Insulin merupakan protein kecil yang memiliki berat molekul sebesar 5808. Insulin terdiri atas dua rantai asam amino yang dihubungkan satu sama lainnya melalui suatu ikatan disulfide. Apabila kedua rantai asam amino dipisahkan maka aktifitas fungsional hormone insulin akan menghilang.

Insulin disintesis oleh sel beta dengan cara yang mirip dengan sintesis protein yakni dengan cara :

- Proses ini diawali dengan translasi RNA insulin oleh ribosom yang melekat pada reticulum endoplasma untuk membentuk praprohormon insulin. Praprohormon ini memiliki berat molekul sekitar 11.500.

- Praprohormon kemudian dipecah diretikulum endoplasma untuk membentuk proinsulin dengan berat molekul 9.000

- Selanjutnya proinsulin ini terbeleh diaparatus golgi untuk membentuk insulin dan fragmen peptide sebelum terbungkus oleh granula sekretorik.

- 1/6 bagian dari hasil sintesis insulin ini dipertahankan dalam bentuk proinsulin yang tidak memiliki aktifitas insulin dan sisanya dalam bentuk insulin dilepaskan ke sirkulasi.Waktu paruh insulin didalam plasma sekitar 6 menit .

3. Aktivasi reseptor`sel sasaran oleh insulin dan efek selular yang ditimbulkan.

Untuk dapat menimbulkan efek insulin pada sel sasaran, insulin harus berikatan dengan suatu reseptor`dan mengaktifkan reseptor tersebut yang berada pada permukaan membran sel-sel target yang menjadi sasaran kerja insulin. Reseptor ini memiliki berat molekul sekitar 300.000.

Reseptor insulin merupakan suatu kombinasi empat subunit yang dihubungkan bersama-sama oleh ikatan disulfide, dua buah subunit alfa yang seluruhnya terletak diluar membran sel dan dua buah subunit beta yang menembus membran, dan menonjol kedalam sitoplasma sel. Insulin berikatan dengan subunit alfa dibagian luar sel, namun karena ikatannya denagan subunit beta maka bagian dari subunit beta yang menonjol kedalam sitoplasma mengalami autofosforilasi.jadi reseptor insulin merupakan salah satu reseptor terkait enzim. Autofosforilasi subunit beta direseptor beta akan mengaktifkan tirosin kinase setempat, yang selanjutnya akan menimbulkan fosforilasi berbagai enzim intrasel lainnya termasuk kelompok enzim yang disebut substrat reseptor insulin (IRS). Insulin dapat memimpin proses metabolisme intrasel dengan cara mengaktifkan beberapa enzim sambil menonaktifkan beberapa enzim lainnya. Dengan cara ini insulin dapat menghasilkan efek yang diinginkan terhadap metabolism karbohidrat lemak dan protein. Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan insulin antara lain :

- Setelah insulin berikatan dengan reseptor membrannya, kira-kira 80% dari semua membran sel tubuh akan menambah kecepatan ambilan glukosanya. Terutama terjadi pada sebagian besar sel-sel otot dan sel-sel lemak tetapi tidak terjadi pada sebagian besar sel neuron otak.

- Membaran sel menjadi lebih permeable terhadap sejumlah asam amino, ion kalium, dan ion fosfat, yang menyebabkan penin gkatan transport ion-ion ini kedalam sel.

- Efek yang lebih lambat terjadi dalam waktu 10 sampai 15 menit berikutnya, untuk mengubah derajat aktivitas sejumlah besar enzim metabolic intrasel lainnya. Efek-efek ini terutama dihasilkan dari perubahan fosforilasi enzim.

- Efek yang jauh lebih lambat terus terjadi selam berjam-jam dan bahkan beberapa hari. Efek ini dihasilkan dari perubahan kecepatan translasi RNA messenger di ribosom untuk membentuk protein yang baru dan efek yang lebih lambat terjadi dari perubahn kecepatan transkripsi DNA didalam intisel. Dengan ini insulin dapat membentuk kembali sebagian besar proses enzimatik sel untuk mencapai tujuan metabolismenya.

4. Efek insulin terhadap metabolisme karbohidrat

Segera setelah menyantap makanan tinggi karbohidrat, glukosa yang di absorbsi ke dalam darah menyebabkan sekresi insulin dengan cepat. Insulin selanjutnya menyebabkan ambilan, penyimpanan dan penggunaan glukosa yang cepat oleh hamper semua jaringan tubuh, namun terutama oleh otot, jaringan adiposa, dan hati.

Insulin meningkatkan metabolism dan ambilan glukosa otot

Dalam seharui, jaringan otot tidak bergantung pada glukosa untuki energinya tetapi sebagian besar bergantung pada asam lemak. Alas an yang utama untuk hal tersebut, karena membrane otot istirahat yang normal hanya sedikit permeable terhadap glukosa, kecuali bila serabut otot dirangsang oleh insulin; di antara waktu-waktu makana, jumlah insulin yang disekresi terlalu kecil untuk meningkatkan jumlah ambilan gluosa yang bermkna kedalam sel-sel.

Akan tetapi, ada 2 kondisi saat otot menggunakan sejumlah besar glukosa. Salah satu dari kondisi tersebut adalah selama kerja fisik sedang atau berat. Penggunaan glukosa yang besar ini tidak membutuhkan sejumlah besar insulin, karena serabut otot yang bekerja menjadi permeable terhadap glukosa bahkan tanpa adanya insulin akibat proses kontraksi itu sendiri.

Keadaan kedua penggunaan sejumlah besar glukosa oleh otot adalah selama beberapa jam setelah makan. Pada saat ini konsentrasi glukosa darah tinggi dan pancreas menyekresikan sejumlah besar insulin. Insulin tambahan menyebabkan transport glukosa yang cepat ke dalam sel otot. Hal ini menyebabkan sel otot selama periode ini lebih cenderung menggunakan glukosa daripada asam lemak.

Penyimpan Glikogen di Otot.

Bila setelah makan otot tidak bekerja, dan walaupun glukosa yang ditranspor ke dalam otot jumlahnya banyak, sebagian besar glukosa sampai batas 2 hingga 3 persen kemudian akan disimpan dalam bentuk glikogen otot daripada digunakan untuk energy. Glikogen ini kemudian dapat digunakan oleh otot untuk menghasilkan energy. Glikogen terutama digunakan selama masa penggunaan energy yang besar dan singkat oleh otot dan bahkan untuk menyediakan sejumlah besar energy aerob selama beberapa menit pada suatu waktu melalui perombakan glikolisis glikogen menjadi asam laktat, yang dapat terjadi bahkan tanpa adanya oksigen.

Insulin Meningkatkan Ambilan, Penyimpanan, dan Penggunaan Glukosa oleh Hati

Salah satu efek terpenting insulin adalah menyebabkan sebagian besar glukosa yang diabsorbsi sesudah makan segera disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Selanjutnya, di antara waktu makan, bila tidak tersedia makanan dan konsentrasi glukosa dalam darah mulai berkurang, sekresi insulin menurun dengan cepat dan glikogen hati dipecah kembali menjadi glukosa, yang akan dilepaskan kembali ke dalam darah untuk menjaga konsentrasi glukosa agar tidak berkurang terlalu jauh.

Mekanisme yang dipakai oleh insulin untuk menyebabkan terjadinya ambilan glukosa dan penyimpanan di hati meliputi beberapa langkah yang hamper terjadi secara bersamaan :

1. Insulin menghambat fosforilase hati, yaitu enzim utama yang menyebabkan terpecahnya glikogen hati menjadi glukosa. Keadan ini mencegah pemecahan glikogen yang sudah tersimpan di sel-sel hati.

2. Insulin meningkatkan ambilan glukosa dari darah oleh sel-sel hati. Keadaan ini terjadi dengan meningkatkan aktivitas enzim glukokinase, yang merupakan salah satu enzim yang menyebabkan timbulnya fosforilasi awal dari glukosa setelah glukosa berdifusi ke dalam sel-sel hati. Begitu difosfolirasi, glukosa terperangkap sementara di dalam sel-sel hati, sebab glukosa yang sudah terfosforilasi tadi tidak dapat berdifusi kembali melewati membrane sel.

3. Insulin juga meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang meningkatkan sintesis glikogen,termasuk enzim glikogen sintetase, yang bertanggung jawab untuk utuk polimerasasi unit-unit monosakarida untuk membentuk molekul glikogen.

Efek akhir seluruh kerja ini adalah meningkatnya jumlah glikogen dalam hati. Jumlah total glikogen dapat meningkatkan hingga sekitar 5 sampai 6 persen massa hati, yang setara dengan hamper 100 gram glikogen yang disimpan di seluruh hati.

Glukosa Dilepaskan dari Hati di Antara Waktu Makan.

Ketika kadar glukosa darah mulai menurun sampai pada kadar yang rendah di antara waktu-waktu makan, beberapa peristiwa akan berlangsung sehingga hati melepaskan glukosa kembali ke dalam sirkulasi darah :

1. Berkurangnya kadar glukosa darah menyebabkan pancreas mengurangi sekresi insulinnya.

2. Kurangnya insulin selanjutnya akan mmengembalikan semua efek yang dijelaskan sebelumnya untuk penyimpanan glikogen, terutama menghentikan sintesis glikogen lebih lanjut dalam hati dan mencegah ambilan glukosa lebih jauh oleh hati dari darah.

3. Kurangnya insulin (bersamaan dengan meningkatnya glukagon) mengaktifkan enzim fosfolirase, yang menyebabkan pemecahan glikogen menjadi glukosa fosfat.

4. Enzim glukosa fosfat, yang telah dihambat oeh insulin, sekarang menjadi aktif oleh karena tidak ada insulin dan menyebabkan lepasnya radikal fosfat dari glukosa, dan keadaan ini menyebabkan glukosa bebas berdifusi kembali ke dalam darah.

Jadi, hati akan memindahkan glukosa dari darah bila terdapat kelebihan glukosa di dalam darah sesudah makan, dan hati akan mengembalikan glukosa ke dalam darah lagi sewaktu konsentrasi glukosa turun di antara waktu makan. Biasanya, dengan cara ini, sekitar 60 persen glukosa dalam makanan, akan disimpan di hati dan selanjutnya akan dikembalikan lagi.

Insulin Memacu Konvensi Kelebihan Glukosa menjadi Asam Lemak dan Menghambat Glukoneogenesis di Hati.

Bila jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel hati lebih banyak daripada jumlah yang dapat disimpan sebagai glikogen atau dapat digunakan untuk metabolisme sel hepatosit setempat, insulin akan memacu pengubahan semua kelebihan glukosa ini menjadi asam lemak. Asam-asam lemak ini selanjutnya diolah sebagai trigliserida di dalam lipoprotein berdesintas-sangat rendah (VLDL) dan transport dalam bentuk lipoprotein ini melalui darah ke jaringan adipose dan ditimbun sebagai lemak.

Insulin juga menghambat glukoneogenesis. Insulin melakukannya terutama dengan mnurunkan jumlah dan aktivitas enzim-enzim hati yang dibutuhkan untuk glukoneogenesis. Akan tetapi, sebagian efek glukoneogenesis disebabkan oleh kerja insulin yang mengurangi pelepasan asam amino dari otot dan jaringan ekstrak hepatic lainnya sdan kemudian keberadaan precursor penting ini diperlukan untuk glukoneogenesis.

Berkurangnya Efek Insulin Terhadap Ambilan dan Pemakaian Glukosa oleh Otak.

Otak agak berbeda derngan sebagian besar jaringan tubuh lainnya karena insulin sedikit berpengaruh atau tak memiliki pengaruh sama sekali terhadap ambilan atau penggunaan glukosa. Bahkan, sel-sel otak bersifat permeabel terhadap glukosa dan dapat menggunakan glukosa tanpa perantaraan insulin.

Sel-sel otak juga cukup berbeda dari sebagian besar sel tubuh lain karena sel-sel otak secara normal hanya menggunakan glukosa sebagai sumber energy dan mengalami kesulitan untuk dapat menggunakan sumber energy lain, seperti lemak. Oleh karena itu, kadar glukosa darah harus selalu dipertahankan di atas nilai kritis, yang merupakan salah satu fungsi terpenting dari system pengaturan kadar glukosa darah. Bila kadar darah glukosa turun terlalu jauh, yakni mencapai kisaran antara 20 samapai 50 mg/100 ml, gejala syok hipoglikemik akan timbul, yang ditandai dengan adanya iritabilitas saraf progresif yang menyebabkan pasien menjadi pingsan, kejang dan bahkan timbul koma.

Pengaruh Insulin Terhadap Metabolisme Karbohidrat di Sel-Sel Lain.

Insulin meningkatkan pengangkutan ke dalam dan pemakaian glukosa oleh sebagian besar sel tubuh lain (kecuali sel-sel otak) dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh insulin dalam memengaruhi pengangkutan dan penggunaan glukosa di sel otot. Pengangkutan glukosa ke dalam sel lemak terutama menyediakan substrat untuk gugus gliserol molekul lemak. Oleh karena itu, secara tidak langsung, insulin meningkatkan timbunan lemak dalam sel-sel ini.

5. Efek Insulin Terhadap Metabolisme Lipid

Walaupun tidak sedramatis efek akut insulin terhadap metabolism karbohidrat, pengarugh insulin terhadap metabolism lemak juga sangat penting, untuk jangka waktu yang lama. Yang terutama dramatis adalah pengaruh jangka panjang kekurangan insulin yang menyebabkan aterosklerosis hebat, yang sering kali menimbulkan serangan jantung, stroke, dan penyakit vascular lainnya. Tetapi, pertama-tama marilah kita bahas efek akut insulin terhadap metabolism lemak.

Insulin Memacu Sintesis dan Penyimpanan Lemak

Insulin mempunyai berbagai efek yang dapat menyebabkan timbulnya penyimpanan lemak di jaringan lemak. Pertama, insulin peningkatkan pemakaian glukosa oleh sebgaian besar jaringan tubuh, yang secara otomatis akan mengurai pemakaian lemak sehingga berfungsi sebagai suatu “penghemat lemak.” Akan tetapi, insulin juga meningkatkan pembentukan asam lemak. Hal yang terutama terjadi bila lebih banyak karbohidrat yang dicerna daripada yang dapat digunakan untuk energy sehingga substrat untuk sintesis lemak akan tersedia. Hampir semua sintesis lemak terjadi di sel hati, dan asam lemak kemudian ditransport melalui lipoprotein darah ke sel adipose untuk disimpan. Berbagai factor yang mengarah pada peningkatan sintesis asam lemak di hati meliputi hal-hal berikut:

1. Insulin meningkatkan pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel hati. Setelah konsentrasi glikogen dalam hati mencapai 5 samapi 6 persen, glikogen ini sendiri yang akan menghambat sintesis glukogen lebih lanjut. Kemudian, seluruh glukosa tambahan yang memasuki sel-sel hati menjadi tersedia untuk dipakai membentuk lemak. Glukosa mula-mula dipecah menjadi piruvat dalam jalur glikolisis, dan piruvat ini selanjutnya diubah menjadi asetil koenzim A (asetil-KoA), yang merupakan substrat asal untuk sintesis asam lemak.

2. Kelebihan ion sitrat dan ion isositrat akan terbentuk oleh siklus asam sitrat bila kelebihan glukosa dipakai sebagai sumber energy. Ion-ion ini selanjutnya mempunyai efek langsung dalam mengaktifkan asetil-KoA karboksilase, yaitu enzim yang dibutuhkan untuk melakukan proses karbosilasi asetil-KoA menjadi malonil-KoA, yang merupakan tahap pertama sintesis asam lemak.

3. Sebagian besar asam lemak ini kemudian disintesis di dalam hati itu sendiri dan digunakan untuk membentuk triglisedida, yaitu bentuk menyimpanan lemak yang umum dijumpai. Trigliserida ini akan dilepaskan dari sel-sel hati ke dalam darah dalam bentuk lipoprotein. Insulin akan mengaktifkan lipoprotein lipase di dinding kapiler darah jaringan lemak, yang akan memecah trigliserida sekali lagi menjadi asam lemak, yang menjadi suatu keharusan agar asam lemak dapat diabsorbsi ke dalam sel-sel lemak, tempat asam lemak ini diubah menjadi trigliserida dan disimpan.

Peran Insulin Dalam Penyimpanan Lemak di Sel-Sel Adiposa. Insulin mempunyai dua efek penting lain yang dibutuhkan untuk penyimpanan lemak di sel-sel adipose:

1. Insulin menghambat kerja lipase peka-hormon. Enzim inilah yang menyebabkan hidrolisis trigliserida yang sudah disimpan dalam sel-sel lemak. Oleh karena itu, pelepasan asam lemak dari jaringan adipose ke sirkulasi darah akan terhambat.

2. Insulin meningkatkan pengangkutan glukosa melalui membrane sel ke dalam sel-sel lemak dengan cara yang sama seperti insulin meningkatkan pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel otot. Sebagian glukosa ini lalu dipakai untuk mensintesis sedikitasam lemak, namun yang lebih penting adalah, glukosa ini dipakai untuk membentuk sejumlah besar α-gliserol fosfat. Zat ini menyediakan gliserol yang berikatan dengan asam lemak untuk membentuk trigliserida yang merupakan bentuk lemak yang disimpan dalam sel-sel adipose. Oleh karena itu, bila tidak ada insulin, bahkan penyimpanan sejumlah besar asam lemak yang diangkut dari hati dalam bentuk lipoprotein hampir terhambat.

Defisiensi Insulin Meningkatkan Penggunaan Lemak Sebagai Sumber Energi

Bila tidak ada insulin, semua aspek pemecahan dan penggunaan lemak sebagai sumber energy yang sangat meningkat. Keadaan ini secara normal bahkan terjadi di antara waktu makan saat sekresi insulin minimum, namun menjadi sangat berlebihan pada keadaan diabetes mellitus saat sekresi insulin hampir nol. Efek yang terjadi sebagai berikut.

Defisiensi insulin menyebabkan lipolisis simpanan lemak dan pelepasan asam lemak bebas.

Bila tidak ada insulin, semua efek insulin yang menyebabkan penyimpanan lemak, seperti yang dibahas sebelumnya, akan berbalik. Efek yang terpenting yaitu peningkatan aktivitas enzim lipase peka-hormon yang terdapat disel-sel lemak. Keadaan ini akan menyebabkan hidrolisis trigliserida yang tersimpan, yang akan melepaskan sejumlah besar asam lemak dan gliserol ke dalam sirkulasi darah. Akibatnya, konsentrasi asam lemak bebas plasma akan meningkat dalam beberapa menit. Asam lemak bebas ini selanjutnya menjadi substrat energy utama yang digunakan oleh seluruh jaringan tubuh selain otak.

Defisiensi Insulin Meningkatkan Konsentrasi Fosfolipid dan Kolesterol Plasma. Kelebihan asam lemak di plasma akibat defisiensi insulin juga memacu pengubahan sejumlah asam lemak menjadi fosfolipid dan kolesterol di hati, yang merupakan dua zat utama yang dihasilkan oleh metabolism lemak. Kedua zat ini, bersama-sama dengan kelebihan trigliserida yang dibentuk pada waktu yang sama di hati, kemudian dilepaskan ke dalam darah dalam bentuk lipoprotein. Kadang-kadang, lipoprotein plasma meningkat sebanyak tiga kali lipat bila tidak ada insulin, yang memberikan konsentrasi total lipid plasma yang lebih tinggi beberapa persen daripada konsentrasi normalnya yang sebesar 0,6 persen. Konsentrasi lipid yang tinggi ini-khususnya konsentrasi kolsterol yang tinggi-akan memacu perkembangan ateroskllerosis pada pasien diabetes yang serius.

Pemakaian Lemak yang Berlebihan Selama Tidak Ada Insulin Menyebabkan Ketosis dan Asidosis. Kekurangan insulin juga menyebabkan terbentuknya asam asetoasetat secara berlebihan di sel-sel hati. Keadaan ini timbul akibat dari efek berikut ini: Bila tidak ada insulin namun terdapat kelebihan asam lemak di sel-sel hati, mekanisme pengangkutan karnitin yang dipakai untuk mengangkut asam lemak ke dalam mitokondria, akan menjadi sangat aktif. Di dalam mitokondria, proses oksidasi beta asam lemak selanjutnya berjalan sangat cepat, sehingga asetil-KoA dilepaskan dalam jumlah yang sangat besar. Sebagian besar kelebihan asetil-KoA ini kemudian dipadatkan untuk membentuk asan asetoasetat, yang selanjutnya dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Sebagian besar asam asetoasetat ini akan melewati sel-sel perifer, tempat asam asetoasetat diubah lagi menjadi asetil-KoA dan digunakan sebagai sumber energy seperti biasanya.

Pada waktu yang sama, tidak adanya insulin juga menekan pemakaian asan asetoasetat di jaringan perifer. Jadi, begitu banyaknya asam asetoasetat yang dilepaskan dari hati sehingga tidak semuanya dapat dimetabolisme oleh jaringan. Oleh karena itu, seperti yang terlihat pada gambar 78-5, selama beberapa hari sesudah hilangnya sekresi insulin, konsentrasinya dapat mencapai 10 mEq/liter atau lebih, yang merupakan suatu keadaan asidosis cairan tubuh yang berat.

sebagian asam asetoasetat ini juga diubah menjadi asam β-hidroksibutirat dan asetot. Kedua zat ini, bersama dengan asam asetoasetat disebut sebagai benda-benda keton, dan bila terdapat dalam jumlah besar dalam cairan tubuh, akan disebut ketosis. Kita akan mengetahui nanti bahwa asam asetoasetat dan asam β-hidroksibutirat dapat menyebabkan timbulnya asidosis yang parah dan koma pada pasien diabetes berat, yang sering kali menimbulkan kematian.

6. EFEK INSULIN TERHADAP METABOLISME PROTEIN DAN PERTUMBUHAN

Insulin meningkatkan sintesis dan penyimpanan protein. Selama beberapa jam sesudah makan, ketika di dalam darah sirkulasiterdapat kelebihan zat nutrisi, tidak hanya karbohidrat dan lemak saja yang di simpan di dalam jaringan, namun protein juga akan disimpan; agar hal ini dapat terjadi di perlukan insulin. Seperti halnya mekanisme penyimpanan glukosa dan lemak, cara yang dipakai oleh insulin agardapat terjadi penyimpanan protein ini belum di pahami dengan baik. Ada beberapa fakta yang telah diketahui, yaitu sebagai berikut :

1. Insulin merangsang pengangkutan sejumlah besar asam aminoke dalam sel. Di antara asam amino yang banyak di angkut adalah valin, leusin, isoleusin, tirosin dan fenilalanin. Jadi, insulin bersama-sama dengan hormon pertumbuhanmempunyai kemampuan untuk meningkatkan ambilan asam aminoke dalam sel. Akan tetapi, asam amino yang dipengaruhi pada dasarnya tidak harus asam amino yang sama.

2. Insulin meningkatkan translasi RNA messenger, sehingga terbentuk protein baru. Dengan cara yang belum dapat dijelaskan, insulin dapat ”menyalakan mesin” ribosom. Bila tidak ada insulin, ribosom akan berhenti bekerja, hampir seakan-akan insulin melakukan mekanisme kerja “mati-hidup”.

3. Sesudah melewati periode waktu yang lebih lama, insulin juga meningkatkan kecepatan transkripsirangkaian genetik DNA yang terpilih di dalam inti sel, sehingga menyebabkan peningkatan jumlah RNA dan beberapa sintesis protein lagi terutama mengaktifkan sejumlah besar enzim untuk penyimpanan karbohidrat, lemak dan protein .

4. Insulin menghambat proses katabolisme protein sehingga akan mengurangi kecepatan pelepasan asam amino dari sel, khususnya dari sel-sel otot. Hal ini di duga akibat dari kemampuan insulin untuk mengurangi pemecahan protein yang normal oleh lisosom sel.

5. Di dalam hati, insulin menekan kecepatan glukoneogenesis. Hal ini terjadi dengan cara mengurangi aktivitas enzim yang memacu glukoneogenesis. Karena zat yang terbanyak digunakan untuk sintesis glukosa melalui proses glukoneogenesis adalah asam amino plasma, proses penekanan glukoneogenesis ini akan menghemat pemakaian asam amino dari cadangan protein dalam tubuh.

Tidak Adanya Insulin Menyebabkan Berkurangnya Protein dan Peningkatan Asam Amino Plasma.

Bila tidak ada insulin, hampir seluruh proses penyimpanan protein menjadi terhenti sama sekali. Proses katabolisme protein akan meningkat, sintesis protein akan berhenti, sejumlah besar asam amino dibuang ke dalam plasma. Konsentrasi asam amino didalam plasma sangat meningkat, dan sebagian besar kelebihan asam amino akan langsung di pergunakansebagai sumber energi atau menjadi subsrtat dalam proses glukoneogenesis . pemecahan asam amino ini juga meningkatkan sekresiureum dalam urine. Limbah protein yang di hasilkan merupakansalah satu efek yang serius pada penyakit diabetes melitus yang parah. Limbah tersebut dapat menimbulkan kelemahan yang hebat dan terganggunya fungsi organ.

REFERENSI :

Sudoyo, W. Aru ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V, Interna Publishing, 2009, Jakarta.

Guyton & Hall: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran; EGC; Jakarta, 2003.

Price, Sylvia. A, Et All ; Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6 , 2006.

Robbins, L. Stanley, Et All ; Buku Ajar Patologi, Edisi VII, EGC, 2007, Jakarta.